Peningkatan mutu dan daya saing nasional di pasar lokal maupun global hanya dapat dicapai apabila standardisasi berfungsi dan oleh sebab itu maka BSN telah menggagas adanya satu Gerakan Nasional Penerapan SNI. Demikian ditegaskan Bambang Setiadi, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN), saat pembukaan Seminar Nasioanal Standardisasi dalam rangka Bulan Mutu Nasional yang berlangsung di Jakarta, 15-16 November 2011 yang lalu.
Acara yang diikuti oleh kalangan pelaku usaha, pemerintah daerah, universitas dan berbagai organisasi dan mitra BSN tersebut diisi diantaranya dengan Seminar, Penganugrahan SNI Award 2011, temu panitia teknis serta pameran dan pelatihan. Selain itu dilakukan juga penandatanganan kerjasama teknis dengan beberapa universitas.
Menurut data yang dilansir, BSN saat ini telah memberikan akreditasi standar pada 500 laboratorium dan 7.000 SNI, dimana salah satunya adalah standardisasi untuk produk tempe yang telah melalui pembahasan di Jenewa.
SNI Untuk Tempe
Akhirnya perjalanan panjang Indonesia dalam memperjuangkan standar untuk tempe menjadi standar Regional Asia disetujui Sidang Codex Alimentarius Commission yang sedang berlangsung di Geneva, 4-9 Juli 2011. Sidang yang dihadiri oleh 140 anggota negara di dunia ini menyetujui usulan Indonesia agar tempe dapat dijadikan suatu standar regional.
Jika kita mempelajari sejarah tempe melalui suatu laporan yang berjudul “A Special Report on The History of Traditional Fermented Soy foods” yang ditulis oleh William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, pada halaman pertama mengenai “History of Tempe”, ditulis bagaimana tempe memasuki negara-negara Amerika, Sri Lanka, India, Jepang, Afrika dan negara Asia Tenggara. Sejak tahun 1800 orang-orang Jepang telah melakukan perjalanan ke Indonesia. Ilmuwan mikrobiologi ternama dari Jepang yang mempelajari tempe adalah Dr. Ryoji Nakazawa. Pendorong utama meningkatnya konsumsi tempe adalah mulai populernya istilah makanan alami atau organik, diet anti daging atau vegetarian dan munculnya banyak makanan dari soya. Di awal 70-an Amerika mengalami kebangkitan persepsi masyarakat mengenai arti kesehatan, nutrisi, fitnes, sumber rendah protein, diet rendah daging , kelaparan di bumi dan kehidupan yang lebih bermakna. Pada tahun 1977 Liem, Steinkraus and Cronk membuktikan bahwa tempe adalah salah satu sumber vitamin B-12 bagi vegetarian. Vitamin B-12 itu diproduksi oleh bakteri Klebsiella.
Tempe mulai menjadi perhatian masyarakat ilmiah ketika diselenggarakannya suatu symposium yang disponsori oleh PBB yaitu International Symposium on Indigenous Fermented Foods (SIFF). Kegiatan tersebut diselenggarakan bersamaan dengan the Fifth International Conference on the Global Impacts of Applied Microbiology (GIAM V) di Bangkok, November 1977 yang dihadiri oleh lebih 450 ilmuwan tekenal dari seluruh dunia. Pada symposium itu didiskusikan 17 makalah tentang tempe, jumlah ini adalah makalah terbanyak untuk pembahasan makalah satu jenis makanan. Gerakan tempe mendunia terjadi karena didorong oleh berbagai faktor, selain faktor ilmiah. Faktor tersebut ada sejak tahun 1983 diantaranya, (1) tempe mulai polpuler di Amerika dan Eropa , (2) Kegiatan KOPTI, suatu asosiasi pembuat tempe di Indonesia, (3) Tumbuhnya masyarakt pengikut diet Jepang di internasional dan (4) Meningkatnya gambaran positif pentingnya makanan dari kedelai sebagai sumber pangan dengan kandungan nutrisi tinggi.
Dengan sejarah panjang itu, perjuangan mengusulkan tempe menjadi standar regional Asia adalah bagian dari puncak keberhasilan untuk menjadikan tempe sebagai bagian industri pangan penting, atau bahkan mungkin terpenting di Indonesia. Dimana, data menunjukan bahwa industri tempe di Indonesia saat ini melibatkan 32.171 jumlah unit usaha, jumlah tenaga kerja 83.352 orang, nilai bahan baku dan bahan pembantu Rp. 54,9 Triliun, nilai produksi Rp. 92, 3 Triliun dan nilai tambahnya mencapai Rp. 37,3 Triliun. Dengan keberhasilan mengusulkan standar tempe menjadi new work di sidang ke 34 Codex Alementarius Commission ini, maka langkah-langkah yang akan ditindak lanjuti adalah mengajukan di sidang CCAsia tahun 2012, adopsi step 5 pada sidang CAC ke 36, menyusun draft standard pada sidang CCAsia ke 19 dan akhirnya dapat diadopsi di Sidang CAC ke 38 sebagai standar regional pada tahun 2015. Saat ini standar teknis untuk tempe yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia adalah SNI 3144:2009, yang telah berlaku sejak ditetapkan, yakni9 Oktober 2009.
Pelaku Usaha Tempe Bisa Mendapatkan SNI
Bagi pelaku usaha atau industri tempe yang ingin produknya berlabel SNI bisa mencari informasi terlebih dahulu melalui website: www.bsn.go.id lalu unggah SNI. “Produknya pasti akan lebih berkualitas,” tutur Kepala Badan Standarisasi Nasional, Bambang Setiadi. Namun sayang hingga saat ini belum semua industri tempe menerapkan SNI pada produknya karena masih bersifat sukarela. Badan Standar Nasional pun berjanji akan makin gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat supaya produk tempe Indonesia berstandar SNI.
***
Sumber:
codexindonesia.or
http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=3134
wartaekonomi.co.id, Selasa 15 November 2011.
0 comments:
Posting Komentar