Bermodal hanya Rp100.000, Cahardi membangun usaha tempe di pinggiran Ibu Kota, Jakarta. Niat tulus membantu orang tua dan saudara di kampung halaman. Penghasilannya per bulan kini setara dengan seorang manajer di sebuah perusahaan.
Kendati berusia muda, Cahardi (33 Tahun) tidak malu menuturkan kisah separuh hidupnya yang dihabiskan bersama tempe. Sebalikya, lelaki yang banyak guyon itu begitu semangat menjelaskan suka dukanya menjalani usaha makanan khas Indonesia ini.
Bermula pada tahun 1990 silam, Ardi begitu sapaan akrabnya merantau ke Jakarta selepas lulus SMP, mengikuti jejak kakaknya yang saat itu sudah berjualan tempe di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kesehariannya dihabiskan membantu sang kakak berjualan dengan imbalan uang sebesar Rp 3.000 per hari.
“Mengenal pembuatan tempe tahun 1990, tamat SMP saya ke Jakarta membantu kakak saya jualan di Pasar Minggu. Waktu itu saya mendapat upah hanya Rp 3.000. Untuk makan aja kurang, apa lagi yang lain, makannya biar irit, menu saya setiap hari tempe - tahu terus,” buka Ardi saat memulai wawancara dengan Bangkit Tani.
Selama lima tahun rutinitas tadi digeluti anak bungsu dari lima bersaudara itu. Keputusan membuka usaha sendiri pun tercetus, dari hasil pas-pasan tadi, Ardi mampu mensisihkan uang Rp 100.000 yang dijadikannya modal awal pembuatan tempe pribadi.
Keterbatasan dana, proses produksi pun dikerjakannya sendiri. Mulai dari membeli bahan baku, merebustempe3, merendam, mencuci hinggga memasarkan dilakoninya dengan niat hasilnya untuk membantu orang tua dan saudara di kampung halaman.
Pada tahun 1997 pria yang gemar berpetualang itu bergabung dengan KOPTI yang dapat membantunya soal pengadaan bahan baku dan permodalan. Ditambah sedikit pengetahuan manajemen keuangan, usahanya kini mulai memberikan hasil mengembirakan.
Dari kemampuan produksi yang tadinya hanya 20 - 25 kg kedelai. Saat ini tak kurang dari 1 kuintal per hari mampu diproduksi. “Kapasitas produksi saya sekarang minimal 1 kuintal per hari. Bersyukur dari hasil tempe, saya bisa membeli rumah, kendaraan dan membantu keponakan sekolah,” ungkapnya.
Untuk pemasaran sekitar 800 potong tempe yang dihasilkannya, di jual sendiri di Pasar Minggu dengan harga jual Rp 2.000 per potong. Ada sekitar 70 pelanggan tetap yang menopang keberadaan usahanya. “Tantangan usaha itu paling kalau musim hujan tiba. Tempe harus lama di jemur dan sedihnya kalau hujanya malam hari. Bikin jualan jadi malas, tapi karena pelanggan harus dilayani, ya dilakoni aja meskipun hujan,” tutur Ardi.
Memuaskan pelanggan memang menjadi salah satu kiat usahanya selain menjaga mutu dan pelayanan. Karena jurus itulah, Ardi tetap bertahan dan menikmati usaha yang digeluti hampir 20 tahun itu. Selama itu pula dirinya jatuh hati dengan tempe. (Azis)
PROFIL
Nama : Cahardi
Alamat : Jl. Gunuk V Rt 10/003 No.4 Pejaten Timur Pasar Minggu - Jakarta Selatan
Sumber: http://bangkittani.com/kiat-sukses/terapkan-manajemen-di-usaha-tempe/ 17 November 2009
Kendati berusia muda, Cahardi (33 Tahun) tidak malu menuturkan kisah separuh hidupnya yang dihabiskan bersama tempe. Sebalikya, lelaki yang banyak guyon itu begitu semangat menjelaskan suka dukanya menjalani usaha makanan khas Indonesia ini.
Bermula pada tahun 1990 silam, Ardi begitu sapaan akrabnya merantau ke Jakarta selepas lulus SMP, mengikuti jejak kakaknya yang saat itu sudah berjualan tempe di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kesehariannya dihabiskan membantu sang kakak berjualan dengan imbalan uang sebesar Rp 3.000 per hari.
“Mengenal pembuatan tempe tahun 1990, tamat SMP saya ke Jakarta membantu kakak saya jualan di Pasar Minggu. Waktu itu saya mendapat upah hanya Rp 3.000. Untuk makan aja kurang, apa lagi yang lain, makannya biar irit, menu saya setiap hari tempe - tahu terus,” buka Ardi saat memulai wawancara dengan Bangkit Tani.
Selama lima tahun rutinitas tadi digeluti anak bungsu dari lima bersaudara itu. Keputusan membuka usaha sendiri pun tercetus, dari hasil pas-pasan tadi, Ardi mampu mensisihkan uang Rp 100.000 yang dijadikannya modal awal pembuatan tempe pribadi.
Keterbatasan dana, proses produksi pun dikerjakannya sendiri. Mulai dari membeli bahan baku, merebustempe3, merendam, mencuci hinggga memasarkan dilakoninya dengan niat hasilnya untuk membantu orang tua dan saudara di kampung halaman.
Pada tahun 1997 pria yang gemar berpetualang itu bergabung dengan KOPTI yang dapat membantunya soal pengadaan bahan baku dan permodalan. Ditambah sedikit pengetahuan manajemen keuangan, usahanya kini mulai memberikan hasil mengembirakan.
Dari kemampuan produksi yang tadinya hanya 20 - 25 kg kedelai. Saat ini tak kurang dari 1 kuintal per hari mampu diproduksi. “Kapasitas produksi saya sekarang minimal 1 kuintal per hari. Bersyukur dari hasil tempe, saya bisa membeli rumah, kendaraan dan membantu keponakan sekolah,” ungkapnya.
Untuk pemasaran sekitar 800 potong tempe yang dihasilkannya, di jual sendiri di Pasar Minggu dengan harga jual Rp 2.000 per potong. Ada sekitar 70 pelanggan tetap yang menopang keberadaan usahanya. “Tantangan usaha itu paling kalau musim hujan tiba. Tempe harus lama di jemur dan sedihnya kalau hujanya malam hari. Bikin jualan jadi malas, tapi karena pelanggan harus dilayani, ya dilakoni aja meskipun hujan,” tutur Ardi.
Memuaskan pelanggan memang menjadi salah satu kiat usahanya selain menjaga mutu dan pelayanan. Karena jurus itulah, Ardi tetap bertahan dan menikmati usaha yang digeluti hampir 20 tahun itu. Selama itu pula dirinya jatuh hati dengan tempe. (Azis)
PROFIL
Nama : Cahardi
Alamat : Jl. Gunuk V Rt 10/003 No.4 Pejaten Timur Pasar Minggu - Jakarta Selatan
Sumber: http://bangkittani.com/kiat-sukses/terapkan-manajemen-di-usaha-tempe/ 17 November 2009
0 comments:
Posting Komentar